BAB
I
PENDAHULUN
A.
Latar Belakang
Masalah
Kaum
sufi telah merumuskan teori-teori tentang jalan menuju Allah. Yakni menuju
kesuatu tahap ma’rifah (mengenal Allah dengan hati). Jalan ini diawali
dengan riyadhah ruhaniyah yang secara bertahap menempuh berbagai fase
yang dikenal dengan maqam (jamak dari maqamat) dan hal (jamak
dari hal) yang berakhir dengan ma’rifah kepada Allah.[1]
Namun banyak sekali orang-orang yang belum mengetahui tentang jalan mendekatkan
diri kepada Allah. Oleh karena itu pada makalah ini penulis akan memaparkan
tentang jalan mendekatkan diri kepada Allah yaitu maqamat & hal.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian maqamat?
2.
bagaimana pembagian maqamat?
3.
Apa pengertian ahwal?
4.
bagaimana pembagian ahwal?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Maqamat
1.
Pengertian Maqamat
Secara etimologis, maqamat adalah jamak dari kata maqam yang
berarti kedudukan, posisi, tingkatan (station) atau kedudukan dan
tahapan dalam mendekatkan diri kepada Allah. Maqam yang arti dasarnya
“tempat berdiri” dalam terminologi sufistik berarti tempat atau martabat
seorang hamba di hadapan Allah pada saat ia berdiri menghadap kepada-Nya.[2]
Banyak definisi yang dikemukemukakan oleh para sufi tentang apa yang dimaksud
dengan maqam. Al- Qusyairi , misalnya, mengatakan :
“Maqam adalah hasil usahan manusia dengan
kerja keras dan keluhuran budi pekerti yang dimiliki hamba Tuhan yang dapat
membawanya kepada usaha dan tuntutan dari segala kewajiban “
Al-Thusi mengatakan :
مقام
العبد بين يدي الله فيما يقام فيه من العبادات والمجاهدات و الرياضات والإنقطاع
الى الله
“Kedudukan hamba di hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja
keras dalam ibadah, kesungguhan melawan hawa nafsu, latihan-latihan kerohanian
serta menyerahkan seluruh jiwa dan raga semata-mata untuk berbakti kepada-Nya”
Dari pengertian ini jelas dapat dilihat bahwa
maqam adalah tingkatan seorang hamba di hadapan Tuhannya dalam hal ibadah dan
latihan-latihan jiwa yang dilakukannya. [3] Maqam
adalah hasil dari kesungguhan dan perjuangan yang terus menerus. Ini
berarti bahwa seseorang baru dapat berpindah dan naik dari satu maqam ke
maqam yang lebih tinggi setelah melalui latihan dan menanamkan
kebiasaan-kebiasaan yang lebih baik lagi; dan telah pula menyempurnakan
syarat-syarat yang harus ada pada maqam di bawahnya. [4]Sehingga
dapat disimpulkan dari beberapa pendapat, bahwa maqamat adalah
tingkatan. Sedang secara terminologi (istilah), maqamat ialah suatu tahap yang harus ditempuh oleh
seorang sufi untuk sampai pada Allah.[5]
2.
Pembagian Maqamat
Terdapat
perbedaan jumlah dan sistematika maqamat antara satu ulama dan ulama
lainnya . Perbedaan ini timbul karena adanya perbedaan pengalaman rohaniah
masing-masing ulama sufi. Sayyid Hosain Nasr menganalogikan perjlanan seorang
sufi dengan mendaki gunung. Awal da akhir diketahui, tetapi jumlah dan
perincian yang sesungguhnya dari tiap langkah yang harus diambil serta
ciri-ciri utama jalan yang ditempuh bergantung pada si pendaki. Akan tetapi,
tujuan dari perjalan yang ditempuh adalah sama, yaitu Tuhan.[6]
Abu
Hamid al Ghazali dalam kitab ihya’ Ulum Al-Din menyebutkan: taubah,
sabr, faqr, zuhd, tawakkal, mahabbah, ma’rifah, dan reda. Menurut
Harun Nasution , yang biasa disebutkan adalah: al- taubah, al-zuhd, al-
shabar, al-tawakal, dan al-ridha.[7]
Al-
Thusi mengatakan:
والمقامات مثل التوبة و الورع والزهد والفقر
والصبر والرضا والتوكل و غير ذالك[8]
Namun
ada maqamat yang biasa disepakati oleh para sufi, yaitu: at-taubah,
al-zuhud, al-wara’, al-fakir as-sabr, al-tawakkal, dan ridha. Sedangkan at-tawadhu’,
al-mahabbah, dan al-ma’rifah, terkadang para ahli tasawuf
menyebutnya maqamat dan terkadang
ittihad dan hal (tercapainya kesatuan wujud ruhaniyah dengan
Tuhan). [9]
a. At-Taubah
Maqamat pada umumnya diawali dengan tobat .[10]Secara
populer diartikan memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan-kesalahan yang
dilakukan, disertai janji yang sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi dosa-dosa
atau kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan, disertai dengan melakukan
amal-amal shaleh. Di kalangan para sufi, kata taubat memiliki arti yang lebih
dari artian tersebut, dimana juga mesti bertaubat dari bisikan-bisikan yang
tidak baik dalam diri seperti iri, dengki, riya dan lain-lain, juga bertaubat
dari kelalaian mengingat Allah (ghaflah).
Taubat dalam tasawuf seperti yang dikatakan Nun
al-Mishri terbagi dua yaitu: taubat orang awam dan taubat orang Khawash.
توبة العوام من الذنوب و توبة الخواص من الغفلة
“Taubatnya orang-orang awam taubat dari dosa-dosa, taubatnya
orang khawash taubat dari ghaflah (lalai menginat dosa). “[11]
Menurut
orang sufi, yang menyebabkan manusia jauh dari Allah adalah karena dosa, sebab dosa
adalah sesuatu yang kotor, sedangkan Allah Maha suci dan menyukai yang suci.
Oleh karena itu, apabila seorang ingin mendekatkan diri kepada-Nya, maka ia
harus terlebih dahulu membersihkan dirinya dari segala macam dosa dengan jalan
bertaubah. Terkadang, tobat tidak dapat
dicapai dengan sekali saja. Diceritakan bahwa seorang sufi melakukan tobat
sampai tujuh puluh kali baru ia mencapai tingkat tobat yang sebenarnya.[12]
Imam al-Qusyairi menerangkan bahwa suatu taubah dapat dipandang sah jika
memenuhi tiga syarat, yaitu:
1. Menyesali
perbuatan maksiat yang telah dilakukannya
2. Meninggalkan
perbuatan maksiat itu
3. Bertekad
tidak akan mengulangi perbuatan yang terkutuk itu.
b. Al-Wara’
Al-Wara’
dalam pandangan para sufi diantaranya berarti
meninggalkan segala sesuatu yang didalamnya terdapat keragu-raguan antara halal
dan haram (syubhat). Dalam pandangan sufi sesuatu yang haram akan
menyebabkan noda hitam di dalam hati yang pada akhirnya dapat mematikan hati
yang karenanya tidak dapat berhubungan dekat dengan Allah. Karena itu para sufi
sangat berhati-hati, sesuatu yang belum jelas kehalalan dan keharaman nya pun
mesti ditinggalkan. Ibrahim bin Adham mengatakan :
الورع ترك كل شبهة وتؤك مالا يعنيك و هو ترك
الفضلات
“wara’ adalah meninggalkan setiap yang berbau syubhat dan
meninggalkan apa yang tidak perlu , yaitu meninggalkan berbagai macam
kesenangan”
Dari
pengertian ini terlihat bahwa wara’ bukan saja meninggalkan yang syubhat tetapi
berbagai kenikmatan yang halal yang dianggap tidak penting.
Perintah
berperilaku wara’ ini ditemui dalam sabda Rasulullah s.a.w:
فمن اتقى من الشبهات فقد الستبرا من الحرام (رواه
البخارى)
“Maka siapa yang terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya ia
telah terbebas dari yang haram “[13]
c. Al-Zuhd
Al- Zuhd
, dalam pandangan para sufi diantaranya berarti
meninggalkan kehidupan dunia dan berkonsentrasi pada kehidupan akhirat. Pada
tingakt zuhud yang tertinggi, seorang
sufi akan memandang segala sesuatu akan tidak punya arti, kecuali Allah semata.
Pada tingkatan ini seorang zahid meninggalkan kehidupan dunia bukan karena
imbalan akhirat tetapi karena kecintaan kepada Allah semata.
Jika
wara’ menghindarkan sesuatu yang dianggap syubaht atau sesuatu yang dianggap
tidak penting meskipun halal, maka zuhud tidak ada kecenderungan terhadap dunia
dan melepaskan ikatan hatin darinya, ada dan tiadanya dunia, siapapun yang
mengambilnya tidak berpengaruh bagi seorang sufi.
قل متاع الدنيا قليل و الاخرة خير لمن اتقي ولا
تظلمون فتيلا (النساء: 77)
“
katakanlah kesenangan dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk
orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun”
d. Al-Fakir
Maqam
faqru merupakan sikap dan perilaku yang harus tertanam pada diri pada diri
peserta taeawuf, sebagai kesediaan tidak mau dipengaruhi oleh pemilikan harta
kekayaan yang banyak, tetapi sekedar harta tersebut digunakan untuk
memperlancar ibadah kepada Allah dan berbakti kepada sesama makhluk-Nya. Fakru
yang dimaksudkan disini bukan kemelaratan yang mengakibatkan seseorang sama
sekali tidak berdaya untuk hidup dan beribadah, tetapi dimaksudkan sebagai
kebutuhan, terhadap Allah semata, dan tidak membutuhkan sesuatu diluar ketentuan-Nya,
sehingga sikapnya tidak terlalu sibuk mencari kekayaan, karena sikapnya selalu
dilandasi dengan sikap qana’ah. Meskipun demikian, istilah ini sering disalah
artikan oleh sebagian sufi yang ekstrim, sehingga sering menyiksa dirinya
dengan berbagai tindakan yang mencederai dirinya. [14]
e. Al-Sabr
Abu
Zakaria Ansari berkata: “ sabar merupakan kemampuan seseorang dalam
mengendalikan dirinya terhadap sesuatu yang terjadi , baik ynag disenanginya
maupun yang dibencinya”.[15]
Sabar yang dimaksudkan dalam maqam ini adalah sabar menahan keinginan hawa
nafsu yng selalu ingin bebas dari segala kewajiban.[16]
f. Tawakkal
Tawakkal berasal dari kata kerja w-k-l, yang
berarti mewakilkan atau menyerahkan. Jika dilihat dari segi istilah tawakkal
berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi atau menunggu
hasil suatu pekerjaan, atau menanti
suatu akibat dari suatu keadaan. Tawakkal adalah suatu sikap
mental seorang (sufi) ynag merupakan hasil dari keyakinannya yang bulat kepada
Allah, karena di dalam tauhid ia diajari agar meyakini bahwa hanya Allah yang
menciptakan segala-galanya, pengetahuan-Nya Maha Luas , Dia yang menguasai dan
mengatur alam semesta ini. Keyakinan inilah yang mendorongnya untuk menyerahkan
segala persoalannya kepada Allah. Hatinya tenang dan tenteram serta tiad aada
rasa curiga, karena Allah Maha Tahu dan Maha Bijaksana.
Sementara
orang ada yang salah paham dalam melakukan tawakkal. Dia enggan berusaha dan
bekerja, tetapi hanya menunggu. Orang semacam ini mempunyai pemikiran, tidak
perlu belajar, jika Allah menghendaki pandai tentu menjadi Pandai. Semua itu sama saja dengan seorang yang
sedang lapar perutnya , sekalipun ada berbagai makanan, tetapi ia berfikir
bahwa Allah menghendaki ia kenyang, tentulah kenyang. Jika pendapat ini
dipegang tentulah nenyengsarakan diri sendiri.[17]
g. Reda
Al-junaid
mengartikan reda dengan “ meninggalkan usaha”. Sedangkan menurut Zu al-Nun al-Misri,
reda adalah menerima qada dan qadar dengan kerelaan hati. Menurut Imam
al-Qusyairi “orang yang memiliki sifat reda adalah orang yang tidak menentang
(rela menerima) apa yang telah ditetapkan Allah”.Tampaknya sikap reda ini
merupakan perpaduan antara sabr dan tawakkal yang melahirkan sikap mental yang
tenang dan senang menerima segala situasi dan kondisi.
Sebagaima
tela disebutkan di atas, reda ini erat hubungannya dengan takdir, yakni reda
kepada takdir. Sedang yang dimaksud reda kepada takdir adalah agar kita
berusaha mengerjkan apa yang diredai dan disenangi Allah dengan memenuhi pula
syarat-syarat untuk dapat mencapainya. Demikianlah sikap reda yang merupakan
suatu sikap yang harus dimiliki oleh setiap orang yang ingin mencapai
ketinggian, kemuliaan, kebersihan dan kesempurnaan rohani. Sikap ini baru dapat
dimiliki setelah iman dan keteguhan hati seseorang meningkat, karena imanlah
yang yang menyebabkan seseorang reda menerima ketentuan atau takdir Tuhan.[18]
Orang yang reda mampumelihat hikmah di balik cobaan yang diberikan Allah dan
tidak berburuk sangka terhadap ketentuan-Nya.[19]
B.
Ahwal
1.
Pengertian Ahwal
Ahwal
merupakan bentuk jamak dari kata “hal” yang biasanya diartikan sebagai
keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela
perjalan spiritualnya. Hal ini merupakan
anugerah dan rahmat dari Tuhan.[20] Al-Thusi
memberikan definisi tentang ahwal,
yaitu sebagai berikut:
واما معنى الأحوال فهو ما يحل به القلوب، أو تحل به القلوب من صفاء
الأذكار وليس الحال من طريق المجاهدات والعبادات والرياضات كالمقامات التي ذكرنا
وهي المراقبة والقرب والمحبة والخوف والرجاء والشوق والأنس والطمأنينة والمشاهدة
واليقين وغير ذلك
Ahwal
berbeda dengan maqamat. Maqamat adalah suatu tingkatan seorang
hamba di hadapan Tuhannya dalam hal ibadah dan latihan-latihan jiwa yang
dilakukannya. Sedangkan ahwal adalah suatu kondisi atau keadaan jiwa
yang diberikan Allah tanpa upaya dari orang yang berkenaan. Meskipun jika
ditelusuri terus bahwa pemberian Tuhan tersebut ada sangkut pautnya dengan
upaya-upaya yang telah dilakukan oleh seorang
hamba sebelumnya .[21] Hal ini sependapat dengan pendapat seorang
sufi yang bernama al-Sarraj, beliau berkata bahwa ahwal tidak diperoleh melalui
ibadah, riyadhah dan mujahadah sebagaimana maqamat,
melainkan anugerah Allah.Tokoh pertama yang membicarakan tentang maqamat
dan ahwal adalah Ali bin Abi Thalib, yaitu ketika beliau ditanya tentang
iman, beliau menjawab bahwa iman dibangun atas empat pondasi: kesabaran (shabr),
keyaqinan (yaqin), keadilan (‘adl) dan perjuangan (jihad).
[22]
2.
Pembagian Ahwal
Seperti halnya maqamat, dalam ahwal juga
terjadi perbedaan dikalangan ulama-ulama sufi tentang jumlah dan urutannya. Al- Thusi misalnya
seperti yang ditulis diatas bahwa ahwal meliputi paling tidak meliputi:
المراقبة والقرب
والمحبة والخوف والرجاء والشوق والأنس والطمأنينة والمشاهدة واليقين وغير ذلك.[23]
a.
Muraqabah
Muraqabah sama dengan al-ihsan yaitu keyakinan yang
mendalam bahwa Allah terus mengamati seluruh aktivitas baik lahir maupun batin.
Muraqabah juga diartikan di kalangan para sufi sebagai mawas diri. Artinya
meneliti dan merenung apakah tindak tanduk setiap harinya telah sesuai apa yang
telah dikehaendaki oleh Allah atau bahkan menyimpang dari yang dikehendaki-Nya.[24]
b.
Qurbu (kedekatan)
Kondisi spiritual qurbah (kedekatan) bagi
seorang hamba adalah menyaksikan dengan mata hatinya akan kedekatan kepada
Allah SWT. dengannya sehingga ia akan melakukan pendekatan diri kepada-Nya
dengan seluruh ketaatan dan dan perhatiannya yang selalu terpusatkan dihadapan
Allah dengan selalu menginat-Nya dalam segala kondisi baik secara lahiriah
maupun rahasia hati.[25]
c.
Mahabbah (Cinta)
As’ad al-Sahmarani mengatakan, bahwa mahabbah yang
dimaksudkan disini, adalah keinginan hamba yang sangat memuncak untuk
menemui Tuhan, sehingga segala kecintaan terhadap yang lain sama sekali
terlupakan. Kecintaan tersebut
diwujudkan dengan memperbanyak ibadah kepada-Nya. [26]
d.
Khauf (takut)
Khauf menurut ahli sufi berarti suatu sikap mental
merasa takut kepada Allah karena khawatir kurangnya pengabdian.[27]
Seseorang yang memiliki perasaan khauf
kepada Tuhan akan menghilangkan perasaan khauf terhadap perkara-perkara lainnya. Dia takut
kepada Tuhannya bukan demi dirinya sendiri, melainkan merasa ta’dhimnya
kepada Tuhan.[28]
Imam al-Ghazali mengatakan bahwa khauf terbagi
menjadi dua macam, yaitu khauf karena khawatir kehilangan nikmat yang
membuat orang untuk memelihara dan memanfaatkan nikmat tersebut pada tempatnya.
Kedua khauf kepada siksaan karena
kemaksiatan yang dilakukan. Ini yang mendorong seseorang untuk melaksanakan apa
yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhi semua larangan-Nya.[29]
e.
Raja’ (barharap)
Raja’ adalah suatu sikap mental yang optimis
dalam memperoleh karunia dan rahmat Allah. Jiwanya penuh dengan pengharapan
akan mendapat ampun, merasa lapang dada, penuh gairah menanti rahmat dan kasih
sayang Allah. Pendapat ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ibn
Qudamah al-Muqaddasi, beliau mengatakan bahwa raja’ ialah rasa lapang dada karena menanti yang
diharapkan, yaitu hal yang mungkin terjadi. Beliau juga mengatakan “dan sesuatu
yang terlintas di dalam hati yang merupakan harapan pada masa yang akan datang
dinamakan raja’ dan yang merupakan sesuatu yang ditakuti adalah khauf”. [30]Khauf dan raja’ adalah dua hal yang saling
berhubungan. Orang yang takut adalah orang yang berharap.[31]
f.
Syauq (kerinduan)
Syauq adalah kerinduan,
karena setiap orang yang cinta kepada
sesuatu tentu ia merindukannya. Secara psikologi, rindu tidak akan tumbuh,
melainkan terhadap sesuatu yang diketahui. Terhadap sesuatu yang belum
diketahui tidak mungkin lahir rasa rindu. Kesempurnaan rasa rindu it ru’yah (melihat)
dan liqa’(bertemu) yang dirindukan, dan yang demikian akan dapat pada
hari akhir nanti.
Dengan demikian syauq adalah rasa rindu yang memancar
dari kalbu karena gelora cinta sejati. Pengetahuan dan pengenalan yang mendalam
terhadap Allah akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang yang
bergairah melahirkan cinta dan akan tumbuh rasa rindu. Rindu ingin bertemu, dan
hasrat yng selalu belgelora. Setiap denyut jantung, detak kalbu dan detak
nafas, ingatannya hanya kepada Allah. Inilah syauq. Perasaan inilah yang
menjadi motor pendorong orang sufi untuk selalu ada sedekat mungkin dengan
Allah, yang menjadi sumber segala kenikmatan dan keindahan yang didambakan.[32]
Al uns berarti intim. Adalah suatu keadaan dimana
seseorang selalu merasa berteman, tidak pernah merasa sunyi. Teman intimnya
adalah Allah yang menemaninya di manapun kapanpun dan dalam keadaan apapun. [33]
Orang- orang yang merasa intim (yang merasakan uns)
itu terbagi atas tiga tingkatan yaitu:
1.
Mereka yang merasa intim
dengan sebab dzikir dan jauh dari kelalaian, merasa intim dengan sebab ketaatan
dan jauh dari dosa.
2.
Ketika sang hamba sudah
sedemikian intim bersama Allah dan jauh dari apapun selain-Nya, yakni
pengingkaran-pengingkaran dan bisikan-bisikan yang menyibukkannya.
3.
Hilangnya pandangan
tentang uns karena ada rasa segan
kedekatan, dan keagunagn bersama uns itu sendiri. Maksudnya sang hamba sudah
tidak melihat uns itu sendiri.[34]
h.
Tuma’ninah
Mutma’innah atau tuma’ninah merupakan suasana batin seseorang dalam
ketentraman karena selalu dekat dengan Tuhan. Sebenarnya mutma’innah seiring dengan hilangnya kecemasaan,
ketegangan, dan kegalisahan dalam hati. Hati yang mutma’innah
dianugerahi rasa aman sehingga ia tidak merasa terburu-buru oleh kehidupan
kebendaan(materiil) yang dipengaruhi perkembanagn jiwa positifnya. Dalam
tasawuf, mutma’innah dinisbahkan kepada ahwal, yaitu kondisi psikologis yang
tenteram dengan mengingat Allah ( dzikr ila Allah), mengaerjakan amal saleh dan
bertaqarrub (mendekatkan) kepada-Nya. [35]
i.
Musyahadah
Musyahadah adalah menyaksikan cahaya ketuhanan, sehingga
segala fungsi-fungsi kejiwaan dapat melihat dan merasakan sesuatu yang
bersumber dari Allah.[36]
j.
Yaqin (keyakinan
sejati)
Keyakinan sejati ini tidak lain adalah mukasyafah (tersingkapnya
apa yang gaib). [37]
Al- Junaid mengatakan yakin adalah hilangnya keragu-raguan. Dhu Nun al- Misri
mengatakan, setiap yang dilihat oleh mata, lalu sesuai dengan dengan kebenaran ilmu, dan apa-apa yang
diketahui oleh mata hati, lalu sesuai dengan keyakinan, maka itu yang disebut
yakin. [38]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara
etimologis, maqamat adalah jamak
dari kata maqam yang berarti kedudukan, posisi, tingkatan (station)
atau kedudukan dan tahapan dalam mendekatkan diri kepada Allah. Maqam
yang arti dasarnya “tempat berdiri” dalam terminologi sufistik berarti tempat
atau martabat seorang hamba di hadapan Allah pada saat ia berdiri menghadap
kepada-Nya. Maqamat yang biasa disepakati oleh para sufi, yaitu: at-taubah,
al-zuhud, al-wara’, al-fakir as-sabr, al-tawakkal, dan ridha.
Ahwal merupakan bentuk jamak dari kata “hal” yang
biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental states) yang dialami
oleh para sufi di sela-sela perjalan spiritualnya. Hal ini merupakan anugerah
dan rahmat dari Tuhan. ahwal meliputi paling tidak meliputi:
المراقبة والقرب والمحبة والخوف والرجاء والشوق والأنس والطمأنينة
والمشاهدة واليقين وغير ذلك
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar,Rosihon. 2009.Akhlak Tasawuf.Bandung: CV.
Pustaka Setia.
As,Asmaran. 2002.Pengantar Studi
Tasawuf.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
ath
Thusi, Abu Nashr Abdullah ibn Ali as Siraj.1914. al Luma’
fi at Tashawwuf.Leiden
Jamil, M.2007. Cakrawala Tasawuf: Sejarah,
Pemikiran, & Kontekstualitas.Jakarta:Gaung
Kebahagiaan
Batin Bagi Sufi Kontemporer.Jakarta: Kalam Mulia
Mahjuddin.2010.Akhlaq
Tasawuf II : Pencarian Ma’rifah Bagi
Sufi Klasik dan Penemuan
Modern..Malang:UIN-Malang Press.
Nasution ,Ahmad Bangunn & Royani
Hanum Siregar. 2013Akhlak Tasawuf: Pengenalan,
Pemahaman,
dan pengaplikasiannya .Jakarta: Rajawali Pers
Persada Press.
Rozak ,Abdul. 2010.Filsafat
Tasawuf.Bandung: CV Mustika Setia.
Toriqquddin,Moh.2008.Sekularitas Tasawuf,
Membumikan Tasawuf dalam dunia
[1] M. Jamil, Cakrawala
Tasawuf: Sejarah, Pemikiran, & Kontekstualitas.(Jakarta:Gaung Persada
Press, 2007). Hlm: 46
[2] Moh. Toriqquddin,Sekularitas
Tasawuf, Membumikan Tasawuf dalam dunia Modern.(Malang:UIN-Malang Press,2008).hlm:
116
[3] M. Jamil, op.cit.,hlm:
46-47
[4] Asmaran As, Pengantar
Studi Tasawuf.(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002).hlm: 107-108
[5] Moh. Toriqquddin, loc.cit.
[6] Rosihon Anwar,Akhlak
Tasawuf.(Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009) .hlm:77-78.
[7] Asmaran As,op.cit.,hlm:
109
[8]
Abu Nashr Abdullah ibn Ali as Siraj ath Thusi, al
Luma’ fi at Tashawwuf,( Leiden: 1914).hlm: 42.
[9] Moh. Toriqquddin,op.cit.hlm:117
[10] Rosihon Anwar,loc.cit
[11]
M. Jamil,op.cit., hlm: 47-48
[12] Asmaran
, loc.cit
[13] Ibid.,hlm: 56
[14] Mahjuddin,Akhlaq
Tasawuf II : Pencarian Ma’rifah Bagi
Sufi Klasik dan Penemuan Kebahagiaan Batin Bagi Sufi Kontemporer.(Jakarta:
Kalam Mulia, 2010).hlm:214-215
[15] Asmaran, op.cit.,hlm:
118
[16] Mahjuddin,loc.cit.
[17] Asmaran, loc.cit., hlm:
123-124
[18] Ibid.,hlm:129-131
[19] Roshihon,opcit.,hlm:
81
[20] Ahmad Bangunn Nasution
& Royani Hanum Siregar.Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman, dan
pengaplikasiannya (Jakarta: Rajawali Pers, 2013.,hlm: 53
[21]M Jamil.op.cit.,hlm:55
[22]Ahmad Bangun Nasution,op.cit.,hlm:
53-54
[23] Al-Thusi,op.cit.,hlm:42
[24] M Jamil,op.cit.,hlm:
56-57
[25] Roshihon.op.cit.,hlm:
86
[26] Mahjuddin,op.cit.,hlm:219
[27]Ahmad Bangun Nasution.loc.cit
[28]Abdul Rozak.Filsafat
Tasawuf.,(Bandung: CV Mustika Setia, 2010).hlm:224-225
[29]M Jamil.op.cit.,hlm:60
[30]Ahmad Bangun Nasution,op.cit.,hlm:
55
[31]M Jamil.loc.cit.
[32] Ahmad Bangunn Nasution .op.cit.,hlm:55-56
[33] M Jamil,op.cit.,62
[34] Ahmad bangun nasution,op.cit.,hlm:
57
[35] Abdul Rozak.op.cit.,
hlm:230-231
[36] Mahjuddin.,op.cit.,hlm:
223
[37] Rosihon Anwar.op.cit.,hlm:
89
[38] Mahjuddin.Loc.cit
0 Response to "Jalan Mendekatkan Diri Kepada Allah : Maqamat dan Ahwal"
Posting Komentar
jangan lupa tinggalkan komentar anda ya.. :)