BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
Misi utama
manusia diciptakan ke dunia adalah humanisaasi, suatu proses untuk menjadika
manusi alebih manusiawi. Sebagai sebuah proses ,humanisasi melibatkan kesadaran
kritis, yang merupakan potensi kodrati manusia. Hal ini untuk membekali manusia
dalam upaya memahami realitas dunia dan mneciptakan srtuktur kebudayaan baru.
Dengan kesadaran kritis manusia hadir
didunia tidak hanya berada didalamnya, malainkan ada bersamanya, keberadaannya
mengisi ruang kosong dalam realitas kehidupan.
Maka,
berdasarkan pada spirit tersebut, kritik yang akn muncul dalam pendidikan
adalah kiritk tajam yang bersifat doktrinal, dogmatis dan kurang memberikan
ruang gerak bagi peserta didik. Oleh
karena itu berngkat dari epistemologi Paulo Freire tentsng kaum tertindas
(oppresed) dalam pendidikan pembebasan, pendidikan harus mampu memeberikan
ruang kosong pada peserta didik untuk melakukan improvisasi diri dalam
menemukan eksistensi dirinya. Oleh karena itu pada makalah ini akan dijelaskan
sedikit mengenai pendidikan pembebasan, baik secara umum maupun secara khusus
yaitu pendidikan pembebasan dalam perspektif Islam.[1]
Demokratisasi
pendidikan merupakan proses pembelajaran seluruh civitas akademika untuk
memajukan pendidikan. Kalau dalam politik ada rakyat , maka dalam pendidikan
ada peserta didik. Pendidikan yang demokratis berarti melibatkan murid secara
aktif dalam seluruh proses pendidikannya (student-centered, student active
learning). Bukan sebaliknya, berpola top-down, yakni berpusat pada
guru (teacher-centered) sehingga murid berperan sebagai objek didik,
atau sebagaimana dikatakan oleh Paulo Freire dengan istilah banking system
education atau pendidikan gaya bank, dimana murid diibaratkan seperti
celengan yang siap diberi koin. [2]
- Rumusan Masalah
1. Mengidentifikasi
hakikat pendidkan pembebasan
2. Mengidentifikasi
model-model pembebasan
3. Merumuskan
pendidikan Islam sebagai praktik pembebasan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Pendidikan Pembebasan
Salah satu
aliran dalam pendidikan adalah model pendidikan pembebasan yang dicanangkan oleh
Paulo Freire. Menurutnya pendidikan adalah praktik pembebasan, karena pertama
ia membebaskan prendidik, bukan hanya terdidik saja dari perbudakan ganda
berupa kebisuan dan monolog. Kedua, dibebaskan ketika mereka mulai belajar ,
yang satu mulai menganggap diri cukup berharga biarpun buta huruf, miskin dan
tidak menguasai teknologi dan yang lain belajar berdialog meskipun masih
dibayang-bayangi oleh peranan pendidik. [3]
Paradigma tersebut
membangun pemahaman bahwa pendiidkan adalah media kultural untuk
membentuk”manusia” yang manusiawi. Pada tatanan ini kemudian relasi antar
apendidikan dan mnusia sngat erat sekali, tidak bisa dipisahkan, bahkan diklaim
sebagai satu kestauan antara dua bagian. Dengan demikain , pendiidkan adalah
proses “humanisasi”, yaitu sebagai media dan proses pembimbinahgan manusia muda
menjadi manusia dewasa, menjdi lebih manusiawi (humanior). Sedangakan, jalan
yang ditempuh untuk ke arah tersebut tentu menggunakan masifikasi jalur
kultural, tidak boleh ada model kapita;isasi pendidikan atau politisasai
pendidikamn. Pendidikan secara murni brupaya membentuk insan akademis yang
berwawsan holistik-integralistik dan berkepribadian kemanusiaan berlandaskan
keimanan kepada tuhan YME yang dalam konsep
islam disebut Insan Kamil.
Akan tetatpi ,
ada juga pandangan yang sangat bertolak belakang dengan konsep pendidikan pembebasan
tersebut, yaitu pandangan klasik tentng pendidikan yang pada umumnya dikatakan
sebagai pranata yang dapat dijalankan pada 3 fungsi sekaligus. 1. Menyiapkan
generasi muda untuk memegang prenan-peranan tertentu dalam masyarakat di masa
depan. 2. Mentransfer atau memindahkan pengetahuan , sesuai dengan peranan yang
diharapkan. 3. Mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan
kesatuan masyrakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup (survive) masyarakta
peradaban. Pandangan ini sangat mereduksi peran dari pendidikan sebagai pranata
pembebasan mnusisa dari belenggu dehumanisasi dengan tatanan nilai-niali serta
norma-norma yang ada dalam pendidikan.[4]
Pendidikan pada
dasarnya diselenggarakan dalam rangka membebaskan manusia dari berbagai
persoalan hidup yang melingkupinya. Pendidikan bagi Freire merupakan salah satu
upaya untuk mengembalikan fungsi manusia menjadi manusia agar terhindar dari
berbagai bentuk penindasan, kebodohan sampai kepada ketertinggalan. Oleh karena
manusia sebagi pusat pendidikan, maka manusia harus menjadiakan pendidikan
sebagai alat pembebasan untuk mengantarkan manusia menjadi makhluk yang bemartabat.[5]
B. Model-
Model Pendidikan Pembebasan
1. Model
Dialog
Paulo Freire sangat menentang pendidikan “gaya bank”
yang mencerminkan masyarakat tertindas yang menunjukan kontradiksi. Pendidikan
gaya bank tersebut antara lain:
a. Guru
mengetahui segala sesuatu, peserta didik tidak tahu apa-apa.
b. Guru
berfikir, peserta didik dipikirkan.
c. Guru
bercerita, peserta didik mendengar.
d. Guru
mengatur, peserta didik diatur.
e. Guru
memilih dan memaksakan pilihannya, pesertat didik menyetujui.
f. Guru
berbuat, peserta didik membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya.
g. Guru
memilih bahan dan isi pelajaran, peserta didik menyesuaikan diri dengan
pelajaran itu.
h. Guru
mencampur adukkan jabatan dan kewenangan ilmu untuk menghalangi kebebasan
peserta didik.
i.
Guru adalah
subyek, peserta didik adalah obyek dalam prose belajar mengajar.
Untuk menentang pendidikan model banking tersebut
Paulo Freire menawarkan pendidikan model dilaog atau Konsientasi (penyadaran)
yaitu sebuah model belajar dengan memahami kontradiksi sosial, politik, ekonomi,
serta mengambil tindakan untuk melawan unsur-unsur yang menindas dari relaita
tersebut.
Pendidikan bukanlah proses satu arah, dari pendidik
kepada reserta didiknya. Pendidikan seharusnya dilaksankan melalui proses
dialog, yang merupakan model pendidikan pembebasan, disamping iti perlu adanya
sikap kerendahan hati dan keterbukaan dimana masing-masing (pendidik dan
peserta didik) menawarkan apa yang mereka mengerti. Keduanya hendakanya
menggbungkan pengetahuan msing-masing. Proses dialektis harus dilaksanakan
secara sungguh-sungguh supaya pendidik tidak terlalu mendominasi pihak yang
lain (peserat diidik) dan justru saling menghargai ilmu masing-masing.
Model dialog dapat dideskripsikan sebagai berikut:




![]() |
|||
![]() |
Hubungan
empati antara dua kutub yang sama-sama terlibat dalam pencarian bersama.
INDUK
: cinta, rendah hati, penuh harapan, kepercayaan, sikap kritis.
Berinduk
pada sikap kritis, dialog menularkan sikap kritis. Dialog dapat ditumbuhkan
melalui sikap cinta, kerendahan hati, harapan, kepercayaan, dan iman. Bila dua
kutub dialog dirangkaikan oleh cinta, harapan, saling percaya, maka mereka
secara kritis akan dapat melakukan secar bersama-sama. Hanya dengan dialog yang
memungkinkan komunikasi sejati.
Lawan
dari pendidikan model dialog adalah anti dialog. Model pendidikan anti dialog
tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
ANTI DIALOG

B
Atas = Komunike
Hubungan
“empati” hancur
INDUK: tiadanya cinta, keangkuhan,
tiadanya harapan, tiadanya kepercayaan, tiadanya kritik.
Hubungan anti dialog adalah hubungan vertikal
manusia, itu ditandai oleh hilangnya cinta, tidak kritis, puas diri dan
keangkuhan tanpa harapan. Didalam anti dialog hubungan empati dihancurkan. Maka
dalam anti dialog orang tidak berkomunikasi melainkan mengeluarkan
komunike-komunike (keputusan) .
2. Model
kritik (Masifikasi)
Paada model ini peserta didik dibimbing supaya
mengetahui struktur sosial, ekonomi, budaya, agama, dan politik dan tidak
menerimanya begitu saja, tetapi malah mmepersoalkan hal-hal yang tidak adil.
Pendidik dan peserta didik mempersoalkan bersama hal-hal yang menyusahkan
kehidupan rakyat.
Pendidikan kritis intinya membantu terbentuknya
sikap-sikap kritis, mengangkat kesadaran naif masyarakat yang telah
menenggelamkannya dalam proses sejarah dan membuatnya mudah terrmakan
irrasionalitas. Hanya pendidikan yang memeperlancar pergeseran kesadran tranistif
naif ke kesadaran transitif
kritis yang akan mamapu tampil mengembangkan kemampuan manusia untuk
melihat tantangan zamannya, yang akan dapat menyiapkan rakyat untuk melawan
kecenderungan emosional dari masa transisi.
Pendidikan yang ada hendaknya pula mampu membuat
manusia berani membicarakan masalah-masalah lingkungan dan turun tangan dalam
lingkungan tersebut, pendidikan yang mampu memperingatkan manusia dari bahaya
zaman dan memberikan kepercayaan dan
kekuatan manusia dari bahaya –bahaya tersebut, bukannya pendidikan yang
menjadikan akal kita menyerah patuh kepada keputusan-keputusan orang lain.[6]
C. Pendidikan
Islam sebagai Praktik Pembebasan
Metode pendidikan dan pengajaran islam sangat banyak
terpengaruh oleh prinsip-prinsip kebebasan dan demokrasi.[7]
Pendidikan islam sebagai praktik pembebasan mendasarkan pada instrumen akal
budi manusia sebagai paradigma pembebasan, dimana pendidikan islam diartikan
sebagai proses penyadaran diri (konsientasi) realitas obyektif dan aktual,
serta mengakui eksistensi manusia sebagai individu yang bebas dan memiliki jati
diri. Dengan instrumen akal budi pula pendidikan dalam islam dimaknai sebagai
proses rasionalisasi dan intelektualisasi.[8]
Islam telah menyerukan adanya prinsip persamaan, dan
kesempatan yang sama dalam belajar, sehingga terbukalah jalan yang mudah untuk
belajar bagi semua orang; pintu masjid dan institut-institut terbuka buat
semua, tanpa pebedaan antara sikaya dan si miskin, tinggi atau rendahnya
kedudukan sosial seorang siswa , oleh karena didalam islam tidak ada kelebiahan orang arab dengan ornag non arab,
kecuali dengan takwa. [9]
Berdasarkan kenyataan diatas ada tiga hal yang ingin
dibebaskan dalam pendidikan Islam, yakni:
1. Bebas
dari pola pikir dikotomis keilmuan atau bahkan polarisasi antara ilmu agama dan
ilmu umum.
2. Bebas
dari pemasungan kesadaran (internal dan eksternal) yang menyebabkan melemahnya
kondisi peserta didik . hal ini di sebabkan adanya budaya kekerasan terhadap
peserta didik yang lebih mementingkan punishment (hukuman), dari pada
reward(hadiah).
3. Bebas
dari praktek-praktek pendidikan yang membelenggu kreatifitas dan kebebasan
berfikir peserta didik . Akibat dari pendidikan semacam ini timbul kultur bisu
dan memudarnya kritisisme masyarakat yang mengakibatkan menipisnya percaya
diri, self-reliance dan self-esteem. Akibat lainya adalah adanya
kecenderungan pasif dalam dimensi politik dan budaya .
Oleh
karena itu pendidikan islam sebagai praktik pembebasan manusia dalam proses
pendidikan harus dipahami dalam dua dimensi:
1. Pendidikan
harus dipahami dalam posisinya secara metodologis, dimana pelaksanaan
pendidikan harus dilaksanakan secara demokratis, terbuka dan dialogis serta
tidak bebas dari moral. Adapun sasaran
utama pendidikan pembebasan dalm konteks ini adalah al- I’timad ala an-nafs (berpegang
teguh dan peracaya pada kemampuan diri sendiri. Karena itu, seseorang dianggap
berhasil mengerjakan sesuatu, kalau ia berpegang teguh dan percaya pada
kemampuannya sendiri, ia mampu melaksanakan apa yang diinginkannya tanpa
tergantung pad abantuan orang lain, kecuali pada hal-hal tertentu yang memamg
membutuhkan bantuan orang lain. Sehingga diperlukan pendidikan agama Islam
Transformatif, yaitu pendidikan Islam yang mengakses perubahan dengan
mempertimbangkan prinsip-prinsip liberalisasi, humanisasi dan transendensi yang
bersifat profetik. Pada dasarnya ketiga prinsip tersebut merupakan implementasi
paradigma humanisme-teosentris karena : (1) liberalisasi bukan berarti
sepenuhnya berkiblat pada liberalisme pendidikan sebagaimana pandangan Jhon
Dewey dengan teori progresivisme dan eksperimentalisnya, tetapi bertolak dari
prinsip kebebasan yang bertanggung jawab seperti diisyaratkan dalam al-Qur’an
bahwa manusia diberi potensi kebebasan kehendak untuk menentukan pilihan. Akan
memilih yang baik atau yang buruk, mau mengubah nasibnya atau tidak ( Q.S.Ar-Ra’du :11). Dengan kebebasannya itulah
maka adil kalau manusia harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. (2)
humanisasi disini buka merujuk pada humanisasi sekuler di Barat yang munculnya
sebagai protes terhadap agama yang dianggap tidak bisa diharapkan untuk
mengadvokasi masalah kemanusiaan, bahkan agama dianggap sering menimbulkan
maasalah kemanusiaan, tetapi didasarkan atas konsep fitrah dalam Islam yang
memandang manusia sebagai makhluk yang paling mulia dengan potensi-potensi
insani (SDM) yang dapat dikembangkan sehingga mampu berperan sebagai khalifah
Allah di bumi dan bisa mendekatkan diri kepada Tuhan. Oleh karena itu
humanisasi dalam Isla adalah memberikan penghargaan yang tinggi terhadap harkat
dan martabat manusia dalam rangka optimalisasi pengembangan SDM yang
dimilikinya . (3) transendensi yang bersifat profetis adalah pemberian makna
ubudiyah dalam proses liberasasi dan humanisasi.[10]
2. Pendidikan
islam sebagai proses pewarisan nilai-nilai keislaman atau transfer of
islamic values. Nilai-nilai keislaman disini adalah tauhid yaitu tidak ada
penghambaan kepada yang selain Allah berarti bebas dari belenggu kebendaan dan
kerohaniaan. Dengan tauhid manusia mempunyai derajat yang sama (egalitarian)
dihadapan Allah yang membedakannya adalah kadar ketakwaan. Dengan demikian
pendidikan Islam hendaknya dipahami sebagai
proses pembebasan manusia agar tak seorangpun yang merasakan
diskriminasi dari pihak lain, untuk dikuasai dan diperbudak (termasuk diperbudak
oleh ilmu dan pengetahan.
Obsesi
pendidikan Islam dalam hal ini adalah menciptakan pribadi-pribadi manusia yang
yang bebas dari segala bentuk penindasan, orientasi materialisme dan hedonisme,
atau keterkungkungan pada kapitalisme global.
Dengan kata lain
tuujuan akhir pendidikan Islam adalah mengarahkan peserta didik menjadi manusia
yang bertaqwa kepada Allah. Adapun kebebasan manusia disini dibatasi oleh
hukum-hukum dan ajaran-ajaran yang ditentukan oleh Allah yang sejalan dengan
filsafat yang mendasari penciptaan manusia. Manusia yang diidam-idamkan oleh
islam pada umumnya dan pendidikan Islam pada khususnya adalah manusia yang
cerdas, mampu berpikir dan juga mampu menggunakan akalnya dengan baik dan
bertanggung jawab.
Dalam konteks
pendidikan di UIN, IAIN dan STAIN, kebebasan yang diharapkan adalh kebebasan
aademik, yaitu kesediaan para mahasiswa untuk menjadikan ilmu yang obyektif
sebagai landasan keputusannya baik ilmu naqliyah maupun ilmu aqliyah.[11]
Daftar
Pustaka
Abd. Rachman Assegaf, Pendidikan
Tanpa Kekerasan: tipologi kondisi, kasus dan konsep(Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 2004),hlm: 141.
Abdul Khobir,Filsafat Pendidikan
Islam(Yogyakarta:Gama Media.2007),hlm:138.
Abdur Rocman Assegaf, Filsafat Pendidikan
Islam:Paradigma Baru Pendidikan Teladan Berbasis Integratif-interkonektif.(Jakarta:Rajawali
Pers, 2011).
Achmadi, Ideologi pendidikan Islam:
Paradigma Humanisme Teosentris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),hlm:
158-159.
M. Yunus Firdaus, Pendidikan Berbasis Realita
Sosial-Paulo Freire & YB. Mangunwijaya(Yogyakarta:Logung
Pustaka,2007),hlm:1
Umiarso & Zamroni, Pendidikan
Pembebasan dalam Perspektif Barat &Timur(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2011),hlm: 15.
[1]
Umiarso & Zamroni, Pendidikan Pembebasan dalam Perspektif Barat
&Timur(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011),hlm: 15.
[2]
Abd. Rachman Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan: tipologi kondisi, kasus
dan konsep(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004),hlm: 141.
[3] Abdul
Khobir,Filsafat Pendidikan Islam(Yogyakarta:Gama Media.2007),hlm:138.
[4]
Umiarso,opcit.,hlm:16-17.
[5]M.
Yunus Firdaus, Pendidikan Berbasis Realita Sosial-Paulo Freire & YB.
Mangunwijaya(Yogyakarta:Logung Pustaka,2007),hlm:1.
[6][6]Khobir,opcit.,hlm:
140-143.
[7]
Abdur Rocman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam:Paradigma Baru Pendidikan
Teladan Berbasis Integratif-interkonektif.(Jakarta:Rajawali Pers, 2011).
Hlm:293
[8]
Abdul Khobir, Loc.cit.,hlm:143.
[9]
Abdurrahman.Ibid.,hlm:294
[10][10] Achmadi, Ideologi
pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008),hlm: 158-159.
[11]
Khobir. Hlm: 144-146
0 Response to "Pendidkan Pembebasan; prespektif umum dan Islam"
Posting Komentar
jangan lupa tinggalkan komentar anda ya.. :)