MASYARAKAT
ARAB SEBELUM ISLAM
Mata kuliah: Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu: Drs. H. Akhmad Zaeni, M.Ag
Disusun oleh:
Oleh:
1. Fina
Niswati Izza (2022112028)
Kelas: PBA A
KEMENTRIAN
AGAMA REPUBLIK INDONESIA
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PEKALONGAN
JURUSAN
TARBIYAH PROGRAM PENDIIDKAN BAHASA ARAB
TAHUN
2015
|
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pemahaman konteks masyarakat sebelum kedatangan
Islam, memiliki peran penting setidaknya sebagai wahana kita memahami bahwa
hadirnya Islam memberikan kontribusi signifikan dalam kehidupan. Meskipun dalam
beberapa hal ajaran-ajaran Islam memiliki kesinambungan dengan ajaran yang
diturunkan kepada nabi sebelumnya, namun bisa dipastikan bahwa ajaran Islam
memiliki kontribusi yang penting dalam membangun peradaban manusia. Pendeknya,
diantara poin penting mempelajari kondisi Arab pra Islam , kita memiliki
wawasan yang luas sehingga mampu mendeskripsikan secara mudah tatkala muncul
pertanyaan apa bedanya yang terjadi di Arab sebelum dan setelah kedatangan
Islam.[1]
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana
kondisi masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam ?
C.
Tujuan Penulisan
1. Mengetahui
bagaimana kondisi masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Geografis Jazirah Arab
Jazirah Arab dengan luas satu juta mil persegi
atau tepatnya 1.745.900 km merupakan kediaman mayoritas bangsa Arab. Akan
tetapi bangsa Arab juga mendiami daerah-daerah sekitar jazirah. Tanah Arab
dianamai Pulau Gundul karena tanah Arab merupakan suatu tanah semenanjung yang
kurang subur dan terdapat banyak gunung batu. Ada beberapa sungai yang mendiami
wadi dengan aliran yang tidak tetap dan lembah-lembah berair di musim hujan.[2]
Jazirah secara etimologi berasal dari bahasa
Arab yang berarti “kepulauan”, Arab secara etimologi berasal dari kata arabia
berarti “gurun pasir” atau “sahara”. Dari segi geografis sebenarnya Arab
bukanlah sebuah kepulauan sebab dari empat penjuru perbatasannya masih ada satu
yang tidak berbatasan dengan laut[3]. Di
sebelah barat berbatasan dengan dengan laut Merah dan gurun Sinai, sebelah
timur berbatasan dengan Teluk Arab (Persia), sebelah selatan dengan laut India,
dan di sebelah utara dengan gurun (padang pasir) Irak dan Syiria. Meskipun
dikelilingi oleh air pada tiga sisi dan dibatasi oleh padang pasir pada sisi ke
empat, jazirah Arab termassuk salah satu daerah yang paling kering dan panas di
muka bumi.[4]
Jazirah Arab terletak di Sebelah Barat daya Asia, terbagi atas dua bagian
yaitu bagian tengah dan bagian tepi.
Bagian tengah Jazirah Arab yakni daerah
pegunungan yang tandus , sehingga penduduknya nomaden untuk mencari tanah yang
subur. Bagian tengah ini didiami oleh suku Badui dimana mereka senang hidup
bebas dan tidak suka bercocok tanam. Wilayah yang termasuk di dalamnya adalah
Najed dan al-Ahqaf. Karena penduduknya berpindah-pindah jadi mereka tidak
tenang menciptakan kebudayaan dan peradabannya.
Bagian
tepi Jazirah Arab merupakan bagian yang subur karena cukupnya curah
hujan , dan penduduknya bukanlah pengembara. Wilayah ini adalah Yaman, Hijaz,
Oman , Hadramaut. Karena mereka menetap sehingga mereka berhasil membuat
berbagai bentuk kebudayaan , mendirikan kerajaan diantaranya kerajaan Saba’
yang terkenal dengan Ratu Balqis, kerajaan Himyar Manadhirah, dan kerajaan
Chassaniyah.[5]
B.
Agama Bangsa Arab Pra Islam
Menurut Watt dalam bukunya Muhammad’s Mecca (1988),
melalui kajiannya terhadap al-Qur’an dikombinasikan dengan sumber arkeologis
dan literal lain ada 4 sistem kepercayaan religius yang berkembang di Arab pra
Islam, yaitu:
1. Fatalisme
Kepercayaan ini menganggap bahwa “waktu”
merupakan manifestasi dari Tuhan. Menurut mereka terdapat dua hal yang wujudnya
ditakdirkan; pertama, kematian (‘ajal) dan kedua, rezeki. Dua hal inilah
yang keberadaanyya di luar kontrol manusia. Sehingga muncul kepercayaan
bahwasanya peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidup ini merupakan produk
dan ditentukan oleh waktu.
2. Paganisme
Kepercayaan paganisme ini adalah realitas yang
niscaya dalam masyarakat Arab. menurut Watt, di Jazirah Arab terdapat sepuluh
Tuhan yang disembah. Tiga diantaranya diidentifikasi sebagai Tuhan feminim,
yaitu al-Lat, al-Uzzah, dan Manat. Mereka berada di tempat-tempat suci di
sekitar Makkah, Thaif, Nakhla dan Qudaid. Tujuh lainnya berkarakter Tuhan
maskulin antara lainWadd yang disembah oleh suku Kalb, Suwa’ disembah suku
Yanbu, Yaghuts disembah oleh suku Madhij, Yauq oleh suku Khiwan dan Nasr oleh
suku di Yaman dan Himyar.
3. Kepercayaan
kepada Allah sebagai super Tuhan
Konsep Allah dalam masyarakat Arab pra Islam
setidaknya mengandung beberapa pengertian :
a. Sebagai
Tuhan pencipta alam semesta
b. Sebagai
pemberi hujan dan kehidupan yang ada di muka bumi
c. Digunakan
dalam sumpah yang sakral
d. Sebagai
objek penyembahan dari apa yang dapat
dikatakan sebagai monotheisme sementara
e. Sebagai
Tuhan Ka’bah
f. Sebagai
Tuhan yang disembah melalui perantaraan dewa-dewa lain.
Menurut
Watt, secara literal bentuk kepercayaan ini tampak seperti ide ketuhanan yang
bercorak monotheistik. Namun sesungguhnya dalam konteks kehidupan masyarakat
Arab pra Islam, bentuk keyakinan seperti ini bukanlah bagian dari corak
monotheistik. Hal ini tidak lain karena disamping mempercayai akan Allah
sebagai super Tuhan namun pada saat yang bersamaan ia membuat sekutu kepadanya.
4. Monotheisme
Rippin menjelaskan dalam kaitanyya dengan
monotheisme masyarakat Arab pra Islam setidaknya terdapat tiga teori yang dimunculkan; pertama,
monotheisme sebagai akibat pengaruh dari agama Yahudi; kedua, monotheisme merupakan
sesuatu yang bersifat alamiah. Monotheisme merupakan merupakan evolusi pemikiran
secara umum dari masyarakat ; dan ketiga monotheisme berkaitan dengan term “hanif”
, agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim.[6]
C.
Kesusasteraan Bangsa Arab
Bangsa arab adalah bangsa pecinta syair.
Penyair-penyair mereka sangat berpengaruh terhadap masyarakat. Rakyat bangsa
tersebut punyai kebiasaan pergelaran puisi yang diselenggarakan di
pasar-pasar seperti Ukaz dan Zulmajz.
Kabilah-kabilah Arab meriwayatkan al-ayyam
(hari-hari penting) yang terdiri dari peperangan dan kemenangan, untuk tujuan
membayangkan atau membanggakan diri terhadap kabilah-kabilah lain, baik dalam
bentuk syair maupun prosa yang diselang-selingi syair. Syair itulah yang
melestarikan perpindahan dan mendiseminasikan berita itu.
Puisi Jahiliyah (pra Islam) tidak menggambarkan
tentang konflik pribadi, tetapi nyanyian kemenagan suku dan mengekspresikan
etos keberanian , kemurahan hati, kehormatan dan keunggulan keturunan. Bentuk tradisi Arab pra Islam yang
mengandung informasi sejarah lainnya adalah al-Ansab (jamak dari nasab:
silsilah / geneology). Pada masa itu pengetahuan tentang nasab merupakan satu
cabang kajian yang dianggap penting. Setiap kabilah hafal akan silsilahnya.
Semua anggota keluarga menghafalkannya agar tetap murni dan silsilah itu
dibanggakan terhadap kabilah lain.[7]
Hanya saja pada waktu itu di negeri-negeri Arab
pendidikan belum tersebar, karena bangsa Arab dari sebelumnya tidak dikenal
sebagai menara gading. Kita tidak mempunyai data yang bisa menjadikan acuan
bahwa negeri-negeri Arab terutama Makkah saat itu sudah menaruh perhatian
terhadap pendidikan dan pengajaran tentang baca tulis bagi para puteranya.
Pendidikan yang berlangsung pada saat itu hanya berdasarkan hajat mereka.
Anak-anak langsung diajari oleh orang tuanya.[8]
Adapun tentang pengetahuan masyarakat Arab yang
bersifat murni yang lahir karena dorongan lingkungan dan karakkter negeri Arab
itu sendiri adalah seperti : Ilmu Meteorologi, Ilmu arkeologi, Ilmu Nasab.[9]
D.
Kondisi Kemasayarakatan di Jazirah Arab.
Yang dimaksud dengan kondisi kemasyarakatan
disini adalah hubungan antara seorang dengan isteri, anak, keponaknnya, dan
hubungan antara satu kabilah dengan kabilah lainnya.
Bagi orang –orang yang mengikuti syair-syair
Arab zaman Jahiliyah, pasti dapat mengambil kesimpulan bahwa pada masa itu
kondisi kaum wanita Arab dapat menikmati kebebasan yang sangat besar. Mereka
biasa diajak bermusyawarah dalam urusan-urusan penting dan diterima usulannya.
Bahkan mereka juga bekerja sama dengan kaum laki-laaki dalam banyak pekerjaan.
Dari kehidupan rumah tangga, kedudukan isteri sudah sangat maju dari yang
terlintas dalam hayal kita. Hal ini seperti terungkap dalam sikap bangga ketika
mereka dinasabkan dengan ibu mereka sama halnya bangga ketika dinasabkan kepada
ayah mereka.
Masyarakat Arab adalah suatu masyarakat yang
memilliki sistem yang bersifat baku terhadap perkawinan. Mayoritas diantara
mereka baru memperisteri seorang wanita
sesudah mendapat restu keluarga pihak isteri. Dalam sistem perkawinan mereka
mengenal sistem perceraian dan perceraian ini berada pada pihak suami. Selanjutnya
dalam pandangan masyarakat Arab dianggap baik, untuk menghindarkan fitnah dan demi memelihara
kehormatan, jika seorang anak perempuan sudah masanya memasuki usia perkawinan
atau janda muda namun tidak segera dinikahkan. Hal ini berpandangan bahwa
sebuah keluarga menjadi terhormat apabila memiliki banyak anak dan keturun. Namun
dikenal juga adanya syarat dari pihak isteri agar perceraian ditangannaya.
Diantara perilaku buruk masyarakat Arab Jahiliyah adalah menanam bayi perempuan
hidup-hidup (wa’dul banat) karena takut hinaan atau noda.
Hanya saja tradisi ini tidak memasyarakat di seluruh bangsa Arab. Motif
lain dari penanaman bayi perempuan hidup-hidup ini di sebahagian kalangan
masyarakat kelas bawah adalah karena
takut jstuh miskin (fakir), terutama di lingkungan masyarakat bani Asad dan
Tamin.
Perlakuan bangsa Arab terhadap anak laki-laki
adalah penuh dengan kasih sayang, kecuali di sebahagian keluarga miskin dan dhu’afa. Di kalangan ini
karena takut miskin anak laki-lakipun sampai hati dibunuhnya. Sedangkan saudara dan keponakan, mereka akan
selalu ditolong dan dibela , baik dalam posisi benar atau salah. Sebab mereka
berpandangan mereka akan ternoda apabila berpangku tangan dan tidak mau membela
dan menolong saudara atau keponakannya .
Bilamana puak suatu kabilah telah beranak pinak
sedemikian banyak, maka anggota puak kabilah itu bersaing untuk menduduki kursi
kepemimpinan dan kehormatan sekalipun masing-masing diantara mereka itu masih
satu kabilah. Persaingan ini telah menimbulkan permusuhan dan perseteruan
hingga mneimbulkan pertumpahan darah.
Sebagai kesimpulan tentang kondisi
kemasyarakatan di lingkungan Arab Jahiliyah adalah: bahwa solidaritas antar
sesama anggota satu kabilah sangat kuat , sedang perasaan tersebut dengan
kabilah sama sekali tidak ada. Tenaga mereka telah habis untuk selalu berperang
, disebabkan dua hal memperebutkan sarana penghidupan dan memperebutkan kehormatan
dankrsi kepemimpinan. [10]
E.
Kehidupan Politik dan Sosial Jazirah Arab
Bila dilihat dari segi sosiologis dan
antropologis bangsa Arab mempunyai tingkat solidaritas dan budaya yang tinggi.
Tingkat solidaritas bisa dilihat dari kehidupan bangsa Arab di padang pasir
yaitu kaum Badui. Mereka mempunyai perasaan kesukuan yang sangat tinggi.
Kabilah atau suku itulah yang mengikat warganya dengan ikatan darah atau
keturunan atau ikatan kesukuan. Kabilah
itulah yang berkewajiban melindungi warganya , dan melindungi orang yang
menggabungkan diri atau meminta perlindungan kepadanya.
Bangsa Arab mempunyai budaya yang tinggi itu
bisa diketahui dari kerajaan-kerajaan yang berdiri di Yaman. Dari bani Qathan
ini telah berdiri kerajaan-kerajaan yang berkuasa di daerah Yaman , diantaranya
yang terpenting adalah kerajaan Ma’in, Qutban, saba’ dan Himyar.[11]
Kehidupan sosial bangsa Arab dapat juga kita
ketahui misalnya dengan adanya syair-syair Arab. Ada dua cara dalam mempelajari
syair arab di masa jahiliyah. Kedua syair itu amat besar manfaatnya:
a. Mempelajari
syair itu sebagai suatu kesenian, yang oleh bangsa arab itu amat dihargai.
b. Mempelajari
syair itu dengan maksud supaya kita dapat mengetahui adat istiadat dan budi pekerti
bangsa Arab.[12]
Masyarakat, baik nomadik maupun yang menetap,
hidup dalam budaya kesukuan Badui.[13]
Orang Badui merupakan bangsa yang liar, penuh dengan kebiasaan hidup liar.
Keliaran (kebuasan) telah menjadi watak dan sifat mereka. Dan mereka menikmati
hidup demikian sebab mereka bebas dari kekangan hukum dan tidak usah patuh pada
kepemimpinan. Watak alami demikian merupakan peniadaan dan bertentangan dengan
peradaban. Dibawah kepemimpinan orang Badui, para pengikutnya seakan-akan hidup
di dalam pemerintahan anarki, tanpa hukum. Masing-masing orang badui berlomba
menjadi pemimpin . Sedikit sekali diantara mereka yang mau menyerahkan
kekuasaanyya kepada orang lain, meskipun itu ayahnya, saudaranya, maupun
anggota keluarganya yang paling tua. [14]
Bangsa Arab tidak memiliki sistem pemerintahan
seperti yang kita kenal dewasa ini. Mereka tidak memiliki peradilan tempat memperoleh kepastian
hukum tentang suatu kasus atau tempat memvonis suatu tindakan pelanggaran. Dalam
taataran masyarakat jahili orang yang teraniaya secara langsung yang akan
bangkit mengambil tindakan pembalasan kepada yang telah berbuat aniaya
kepadanya dan kabilahnya bila tindakan aniaya itu dianggap sangat membahayakan
. Barulah pihak teraniaya tidak berhak menuntut balas apabila yang berbuat
aniaya telah membayar ganti rugi dengan materi sesuai dengan kesepakatan kedua
belah pihak (diyat).[15]
Organisasi dan identitas sosial berakar pada
keanggotaan dalam suatu rentang komunitas yang luas. Kelompok beberapa keluarga
membentuk kabilah (clan). Beberapa kelompok kabilah membentuk suku (tribe)
dan dipimpin oleh seorang syaikh. Mereka sangat menekankan hubungan kesukuan,
sehingga kesetiaan atau solidaritas kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu
kabilah maupun suku. Mereka suka berperang. Karena itu, peperangan antar suku
sering sering sekali terjadi. Sikap ini tampaknya telah menjadi tabi’at yang
mendarah daging dalam diri orang Arab. Dalam masyarakat yang suka berperang
tersebut, nilai wanita menjadi sangat rendah. Situasi seperti ini terus
berlangsung sampai agama Islam lahir. Dunia Arab ketika itu merupakan kancah
peperangan terus menerus. Pada sisi yang lain, meskipun masyarakat Badui
mempunyai pemimpin, namun mereka hanya tunduk kepada syikh atau amir (ketua
kabilah ) itu dalam hal yang berkaitan dengan peperangan, pembagian harta
rampasan dan pertempuran tertentu. Di luar itu, syaikh atau amir tidak kuasa
mengatur anggota kabilahnya.[16]
Lebih jauh dari itu bahwa dalam masyarakat Arab
jahili tidak ada sistem yang mengatur pemindahan kekuasaan dan kepemimpinan.
Yang ada hanya berdasarkan tradisi, bahwa yang paling tua usianya, yang
terkaya, yang paling banyak anggota keluarganya, dan yang paling layak mendapat
kehormatan dari kepribadiannya dalam kabilah itulah yang terpilih. Orang-orang
Arab yang merdeka saat berperang , mereka bersatu padu terpimpin dan berada di
bawah komando seorang amir. Namun dalam keadaan damai, keluargalah satu-satunya
yang nampak tersusun dalam kehidupan mereka.[17]
F.
Keadaan Ekonomi
Kehidupan sosial ekonomi bangsa arab menjelang
lahirnya islam, sangat ditentukan oleh kondisi dan letak geografis wilayahnya.
Bagi masyarakat Arab pedalaman yang terkenal dengan sebutan ahlu Badui atau Badiah
hidup berpindah-pindah mencari tempat yang subur, mereka bertani dan beternak.
Dalam mengolah pertanian para pemilik ladang memkai tiga sistem yaitu pertama,
sistem sewa dengan emas atau logam mulia yang lain, gandum atau hasil pertanian
yang lain sebagai alat pembayarannya. Kedua, sistem bagi hasil. Ketiga, sistem
pandega yaitu seluruh modal datang dari pemilik, sementara pemupukkan dan perawatannya
dikerjakan oleh penggarap.
Sedang yang hidup diperkotaan atau yang disebut
dengan ahlul hadloroh mayoritas mereka berdagang. Status mereka sebagai
pedagang terbentuk karena wilayah yaman adalah wilayah transit untuk
perdagangan yang menghubungkan satu negeri dengan negeri yang lain.
Disisi lain, ada sebuah wilayah yang menjadi
saingan yaman, yaitu kota makkah. Makkah merupakan wilayah yang memiliki letak
strategis dalam kegiatan berdagang. walupun wilayahnya gersang dan tidak subur
tapi ramai dikunjungi orang. Hal ini karena di makkah terdapat bangunan yang
memiliki nilai keramat bagi bangsa arab yaitu ka’bah.
Para pedagang arab sejak 200 tahun menjelang
datangnya islam, telah melakukan transaksi dengan india, negeri pantai afrika,
sejumlah negara teluk persia, asia tengah dan sekitarnya. Komoditas ekspor Arab
selatan dan yaman anatara lain kemenyan, dupa, kayu gaharu, minyak wangi kulit
bianatang, kismis, anggur dan lain lain. Sedang barang yang di impor dari
Afrika Timur antara lain kayu untuk bahan bangunan, bulu-bulu unta, logam mulia
serta badak. Sedang dari cina dan Asia selatan yaitu gading, batu mulia,sutera,
pakaian, pedang, rempah-rempah, dan dari negara-negara teluk persia, mereka
menginpor intan.
Perjalanan dagang mereka lakukan dalam dua
musim yaitu musim panas(shaif) ke negeri syam dan musim dingin (syita’) ke
negeri yaman.[18]
Berdasarkan uraian diatas peradaban bangsa arab
pra islam sudah sangat tinggi tapi kenapa masih dinamakan jahiliyah?
Orang Arab menggunakan kata (الجاهل) dan pecahan-pecahannya untuk
dua pengertian. Pertama (الجاهل) lawan dari kata (العلم) (mengetahui).
Ini menyangkut keadaan akal . Kedua lawan dari kata (الحلم ) (sopan santun). Yang ini menyangkut jiwa
dan perilaku. Tapi mereka belum pernah menggunakan kata (الجاهلية) dalam syair
dalam percakapan mereka. Kata ini baru dipergunakan pertama kali dalam
Al-Qur’an untuk menggambarkan keadaan orang Arab sebelum Islam. Lafadz (الجاهلية) yang sinonimnya (لا يعلمون) (tidak mengetahui) yang
terdapat dalam al-Qur’an, artinya tidak lepas dari dua pengertian, yaitu :
tidak mengenal hakikat Tuhan atau tidak mengikuti apa yang diturunkan Tuhan. [19]
Dalam buku lain dijelaskan kata jahiliyah
memiliki konotasi jahil (bodoh) khususnya dalam hal moralitas, yaitu
norma-norma pergaulan antar sesama, dimana ketika itu antar kabilah saling
bermusuhan untuk saling berebut hegemoni. Demikian
pula hak-hak asasi manusia khususnya perempuan, dan kaum lemah tidak pernah
ada, yang kuat memperdaya yang lemah, yang kaya memperdaya yang miskin dan
seterusnya. [20] Menyembah patung, menguburkan anak
hidup-hidup, minum tuak, main judi atau melakukan perampokan, semua itu
hanyalah bentuk luarnya saja. Mungkin saja bentuk luar ini berbeda menurut
tempat dan waktu sebagaimana yang kita saksikan dalam sejarah. Namun yang
esensial tetaplah esensial, tidak berubah oleh kondisi apapun. Dia tetap tidak
mengenal hakikat Tuhan dan mengikuti selain yang diturunkan Allah. [21]
Sedangkan dalam hal kemajuan budaya kebendaan
, sebenarnya masyarakat Arab memiliki budaya yang cukup maju untuk ukuran
zamannya. Dengan demikian, jahiliyah khususnya diperuntukan dalam hal moralitas
dan teologi. [22]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Kondisi masyarakat Arab sebelum kedatangan
Islam bisa dilihat dari beberapa segi, diantaranya:
1. Dari
segi geografis Jazirah Arab terletak di Sebelah Barat daya Asia, terbagi atas
dua bagian yaitu bagian tengah dan
bagian tepi. Bagian tengah terdiri dari pegunungan yang tandus sehingga
masyarakatnya nomaden untuk mencari tempat yang subur. Bagian tepi Jazirah Arab merupakan bagian yang subur
karena cukupnya curah hujan , dan penduduknya bukanlah pengembara.
2. Dari
segi agama yang dianut oleh bangsa Arab sebelum kedatangan Islam, ada beberapa
kepercayaan yang mereka anut yaitu: Fatalisme, Paganisme, kepercayaan kepada
Allah sebagai super Tuhan dan Monotheisme.
3. Dari
segi kesusasteraan bangsa Arab sejak dulu telah dikenal sebagai bangsa pecinta
syair. Mereka menciptakan berbagai macam syair, puisi dan prosa.
4. Dari
segi kemasyarakatan bangsa Arab memiliki bahwa solidaritas antar sesama anggota
satu kabilah sangat kuat , sedang perasaan tersebut dengan kabilah sama sekali
tidak ada.
5. Kehidupan
politik dan sosial masyarakat Arab pra Islam, baik nomadik maupun yang menetap,
hidup dalam budaya kesukuan Badui. Dalam menyelesaikan masalah mereka sering
menggunakan cara peperangan. Walaupun mereka mempunyai amir atau syaikh, mereka
hanya tunduk pada hal peperangan, pembagian harta rampasan dan pertempuran
tertentu namun tidak tunduk untuk masalah yang lainyya.
6. Kondisi
perekonomian masyarakat Arab pra Islam ditinjau dari segi mata pencaharian ada
dua kategori. Untuk masyarakat pedalaman yang dikenal dengan ahlu badui atau
baidah mereka bekerja disektor pertanian dan peternakan. Sedangakan masyarakat
perkotaan mereka bekerja disektor perdagangan.
DAFTAR
PUSTAKA
Amin, Samsul
Munir. Sejarah Peradaban Islam.
Cetakan ke-2. Jakarta: Sinar Grafika
Offset, 2010.
Esha, Muhammad
In’am. Percikan Filsafat Sejarah dan Peradaban Islam . Malang: UIN-Maliki Press.
Fatikhah.
2012. Sejarah Peradaban Islam. Pekalongan: STAIN Pekalongan Press.
Hasan, Ibrahim
Hasan. 1979. Sejarah kebudayaan Islam, cetakan ke -9. Jakarta: Kalam
Mulia.
Khaldun ,Ibnu .2000. Muqoddimah Ibnu Khaldun. Diterjemahkan oleh
Ahmadie Thoha. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Khoiriyah. 2012. Reorientasi
Sejarah Peradaban Islam: Dari Arab Sebelum Islam hingga Dinasti-Dinasti Islam.
Yogyakarta: Teras.
NC, Fatah
Syukur. 2002. Sejarah Peradaban Islam. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra.
Quthb, Muhammad. 1995. Perlukah
Menulis Ulang Sejarah Islam? . Jakarta: Gema Insani Press.
Yatim, Badri .
2014. Sejarah Peradaban Islam. Cetakan ke-25. Jakarta: Rajawali Pers.
[1] Muhammad In’am Esha, Percikan
Filsafat Sejarah dan Peradaban Islam (Malang: UIN-Maliki Press), hlm: 59
[2] Khoiriyah, Reorientasi
Sejarah Peradaban Islam: Dari Arab Sebelum Islam hingga Dinasti-Dinasti Islam,
(Yogyakarta: Teras, 2012),hlm: 6
[3] Fatah Syukur NC,
Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra, 2002), hlm: 13
[4] Khoiriyah, op.cit.,
hlm: 5-6
[5] Fatah Syukur NC, op.cit.,
hlm: 13-14
[6] Muhammad In’am Esha, op.cit.,hal: 64-68
[7] Ibid.,hlm: 20
[8] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah
kebudayaan Islam, cetakan ke -9, (Jakarta: Kalam Mulia, 1979),hlm:
118
[9] Ibid., hlm: 121
[10] Hasan Ibrahim,op.cit.,hlm:
114-117
[11] Fatikhah, Sejarah
Peradaban Islam, (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2012), hlm: 22
[12] Ibid.,hlm:24
[13] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm: 11
[14] Ibnu Khaldun, Muqoddimah
Ibnu Khaldun, terjemahan Ahmadie Thoha. (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2000),hlm: 180-182
[15] Hasan Ibrahim Hasan, op.cit.,hlm:
88-89
[16] Badri Yatim, op.cit, hlm:
11
[17] Hasan Ibrahim, op.cit.,hlm:
90
[18] Fatikhah, op.cit.,
hlm: .40-42
[19] Muhammad Quthb, Perlukah
Menulis Ulang Sejarah Islam? ( Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm:53-57
[20] Samsul Munir Amin, Sejarah
Peradaban Islam (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010), hlm:47
[21] Muhammad Quthb, op.cit.,
hlm: 57-58
[22] Samsul Munir Amin, op.cit,
hlm:47
Masyarakat Timur Tengah menghadapi iklim gurun yang keras
BalasHapusterima kasih ilmunya kakak :)
BalasHapusjoos
BalasHapus