BABII
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu
Nasikh dan Mansukh
Ilmu ini membahas tentang hadits-hadits
yang sudah dianasah (tidak berlaku hukumnya) dan hadits-hadits yang menasahkan.[1]
Ilmu Nasikh dan Mansukh ini termasuk jenis
ilmu paling penting yang hanya dapat dimengerti oleh para Ulama yang ahli saja.
Asal makna kata “Naskh” adalah “Zawai” (hilang), seperti angin yang
menghilangkan bekas-bekas. Kata “An-Naskh” juga memiliki arti lain, yaitu “Intiqal”
(memindahkan), seperti memindahkan tulisan dan kitab.[2]
Yang dimaksud dengan Naskh ialah :
وَفَعَ
الشَّارِعُ حُكْمًا مِنْهُ مُتَقَدِّمًا بِحُكْمٍ مِنْهُ مُتَأَخِّرٍ
“Nasakh ialah syari’
(wetgever) menghapus aturan hukum yang dulu dan diganti dengan aturan hukum
yang kemudian”.[3]
Naskh menurut terminologi adalah mengangkat
(menghapus) suatu hukum syariat dengan pesan tertentu (Khithab). Yang tidak
termasuk di dalamnya adalah naskh yang menjelaskan naskh lain yang bersifat
umum. Hukum mubah yang menjadi hukum, dan khabar itu mengandung suatu
kewajiban. Akan tetapi, khabar itu disampaikan kepada orang yang belum menerima
khabar tersebut sebelumnya, maka itu tidak dapat disebut sebagai naskh.
Naskh menurut syariat adalah keterkaitan
antara suatu hukum dengan mannusia yang menerima hukum tersebut. Oleh sebab
itu, keringanan pelaksanaan shalat dari 50 rakaat menjadi 5 shalat wajib pada
malam isro’ tidak dapat disebut sebagai naskh. Karena berita tentang 50 rakaat
shalat itu belum sampai kepada manusia sebagai penerima hukum. Yang sampai
kepada mereka adalah pelaksanaan 5 shalat wajib setelah diberi keringanan.
Dari batasan ini dapat ipahami bahwa kedua
hukum tersebut pasti ada terlebih dahulu, lalu hukum tersebut diangkat. Oleh
sebab itu, pengkhususan yang beriringan dengan kewajiban tidak termasuk naskh
seperti hadits :
“janganlah kamu memakai baju, kemeja, celana pendek dan sepatu khuf.
Kecuali jika seseorang tersebut tidak memakai dua sandal, maka ia memakai dua
khuf”1
Dalam hadits ini terdapat dua hukum; hukum larangan memakai khuf dan hukum
boleh memakai khuf. Hukum boleh ini
tidak dapatdisebut sebagai Naskh, akan tetapi penjelasan terhadap pesan
sebelumnya yang masih beerhubungan dengan perintah. Hukum kedua datang
belakangan, yaitu menghilangkan hukum larangan, dengan demikian maka hokum itu
berakhir dengan berakhirnya waktu. Sama seperti, “tidak ada shalat setelah
fajar hingga terbit matahari”xx. Larangan tersebut bersifat
temporer, dengan terbitnya matahari maka waktunya pun otomatis berakhir.
Penetapan waktu tidak dapat dijadikan sebagai Naskh. Dari batasan ini
dapat dipahami bahwa naskh itu dengan suatu Khithab (pesar), karena hukum
menjadi terputus dengan matinya penerima hukum, kematian menghilangkan hukum,
bukan bukan menjadi naskh terhadap hukum. Demikian juga dengan orang gila dan
sejenisnya menghilangkan beban hukum.
Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa kedua hukum tersebut
disyariatkan, dengan demikian maka dapat disimpulkan dua perkara, yaitu:
1)
Tidak ada naskh dengan akal, demikian menurut pendapat
yang shahih, umpamanya anggota tubuh yang wajib dibasuh terputus, tidak dapat
dikatakan bahwa hukum membasuhnya telah di-nasakh, akan tetapi hukum wajibnya
menjadi hilang karena penyebabnya telah hilang.
2)
Tidak ada naskh dengan ijma’, karena ijma’ itu terjadi
setelah wafatnya Rasulullah SAW, kecuali jika ijma’ itu mengandung naskh, maka
naskh terjadi disebabkan dalil ijma’, bukan disebabkan oleh ijma’ tersebut,
wallahu a’lam.[4]
Jadi, aturan hukum yang dahulu disebut
mansukh. Dan aturan hukum kemudian disebut Nasikh.[5]
Yang dimaksud dengan An-Naskh dan Al-Mansukh ialah ilmu pengetahuan yang
membahas tentang hadits-hadits yang menghapus ketetapan hukum yang dibawa oleh
hadits-hadits yang datang terdahulu.[6]
Ada beberapa jalan/cara untuk mengetahui adanya nasakh, antara lain :
a.
Pernyataan (keterangan) Nabi sendiri.
Misalnya hadits
كُنْتُ قَدْ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ
الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا
“Aku (Nabi) dahulu pernah
melarang kamu berziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah kamu pada kubur
itu”.
Ziarah kubur itu semula (pada permulaan islam) dilarang, kemudian
diperbolehkan.
Ada kaidah:
اَلْأَمْرُ بَعْدَ النَّهْىِ يُفِيْدُ
الْإِباَحَةَ
Artinya: “perintah
sesudah larangan berarti boleh”
Jadi ziarah kubur itu hukumnya boleh. Bahkan menurut Ibnu Hazm hukumnya
wajib, karena ada perintah Nabi seperti tersebut di atas.
b.
Keterangan dari sahabat
Misalnya:
كَانَ اُخِرُ الْأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ ص.م.
تَرَكَ الْوُضُوْءِ مِمَّا مَسَّتِ الْنَّارُ
Artinya: “Yang terakhir dari dua hal/perintah Nabi
adalah meninggalkan wudlu dari sesuatu yang terkena api”.
c.
Keterangan sejarah
Misalnya hadits Syaddad bin Aus yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dan an-Nasa’i.
Nabi bersabda:
اَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَ الْمَحْجُوْمُ
Artinya: “batal puasa orang yang berbekam (cantuk
bahasa jawa) dan orang yang di bekam”.
Menurut Imam Syafi’I, Hadits Syaddad bin
Aus itu dinasakh dengan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
إِنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِحْتَجَمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ صَائِمٌ
Artinya: “sesungguhya nabi berbekam, sedang beliau
tetap dalam keadaan ihram dan berpuasa”.
Alasannya bahwa Hadits Syaddad disabdakan nabi pada
tahun 8 H, yaitu pada tahun pembebasan kota Makkah. Sedang hadits Ibnu Abbas
terjadi pada waktu nabi melakukan Haji Wada’ (10 H).
d. Dengan petunjuk ijma’
Misalnya hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dan Tirmidzi dari Mu’awiyah.
Nabi bersabda:
مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فَاجْلِدُوْهُ فَإِنْ عَادَ فِى
الرَّابِعَةِ فَاقْتُلُوْهُ
Artinya : “barangsiapa minum minuman
keras, maka deralah ia. Kemudian jika ia berbuat lagi untuk keempat kalinya,
maka bunuhlah ia”.
Menurut Imam Nawawi di dalam Syarah Muslim, bahwa ijma’ menunjukkan
adanya nasakh dalam hadits itu. Ijma’ itu sendiri tidak menasakhkan tetapi
ijma’ itu dapat menjadi petunjuk adanya nasakh.
B. Faidah/Manfaat Nasikh Mansukh
Mengetahui Ilmu Nasikh dan Mansukh termasuk kewajiban penting bagi
orang-orang yang memperdalam syari’at. Karena seorang pembahas Ilmu syari’at
tidak akan dapat memetik hukum dari dalil-dalil naskh. Dalam kaitan ini adalah
hadits tanpa mengetahui dalil-dalil naskh yang sudah dinasahkan dan dalil-dalil
yang menasakhkannya. Atas dasar itulah al-Hazimy berkata, “Ilmu ini termasuk
sarana penyempurnaan ijtihad”. Sebab, sebagaimana diketahui bahwa rukun ijtihad
itu ialah adanya kesanggupan untuk memetik hukum dari dalil-dalil naqli (nash) dan dari dalil-dalil naqli itu harus mengenal pula dalil
yang sudah dinash atau dalil yang menasahkannya.
Hadits menurut arti yang tersurat adalah mudah dan tidak menyebarkan
waktu. Akan tetapi yang menimbulkan kesukaran adalah mengistimbarkan hukum dari
dalil-dalil nash yang tidak jelas petunjuknya. Di antara jalan untuk
mentahqiqkan (memastikan) ketersembunyian arti yang tidak tersirat itu ialah
mengetahui mana dalil yang terdahulu dan manapula dalil yang kemudian dan lain
sebagainya dari segi makna.[7]
C. Latar Belakang Nasikh dan Mansukh Hadits
Diskusi telah berlangsung di kalangan ulama, bahkan di kalangan sahabat
Nabi tentang petunjuk hadits yang tampak bertentangan. Perlu ditegaskan bahwa
hadits-hadits yang didiskusikan itu adalah yang sanadnya sama-sama sahih,
minimal hasan, hadits yang sanadnya dha’if tidak dimasalahkan karena
hadits yang bersangkutan ditolak sebagai hujah.
Untuk menyelesaikan hadits-hadits yang tampak bertentangan tersebut,
cara yang ditempuh oleh ulama tidak sama, ada yang menempuh lebih dari satu cara dengan urutan yang
berbeda-beda. Istilah-istilah yang banyak dijumpai dalam hal ini antara lain:
·
al-tarjib, yakni meneliti dan menentukan petunjuk hadits yang meniliki argumen
yang lebih kuat,
·
al-jam’u
(at-taufiq), yakni kedua hadits yang tampak
bertentangan itu dikompromikan, atau sama-sama diamalkan sesuai konteksnya,
·
al-nasikh wa
al-mansukh, yakni petunjuk dalam hadits yang satu
dinyatakan sebagai “penghapus”, sedang hadits yang satunya lagi sebagai “yang
dihapus”,
·
al-tauqif, yakni “menunggu” sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat
menjernihkan dan menyelesaikan pertentangan
Walaupun cara-cara penyelesaian ulama berbeda-beda,
namun tidaklah berarti bahwa hasil
penyelesaiannya harus berbeda juga. Dinyatakan demikian karena selain ulama
pada umumnya lebih mengutamakan cara al-jam’u (at-taufiq), sepanjang
cara itu dapat diterapkan, juga untuk cara penyelesaian yang diberi istilah
yang berbeda, ternyata hasilnya banyak yang menunjukkan kesamaan.[8]
D.
Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Persetujuan Nasikh Wa Mansukh
Hadits
Oleh kerana penentuan nasakh merupakan perkara yang
diijtihadkan, tentu sekali ada perbedaan pendapat ulama dalam menentukan
sesuatu hadist itu dimansukhkan ataupun tidak. Tidak semua hadist yang
dikatakan sebagai telah mansukh dipersetujui oleh semua pihak. Walau
bagaimanapun terdapat juga, hadist yang disepakati oleh ulama sebagai mansukh.
Dalam hal ini, Dr Yusuf al-Qaradhawi menyebut: “Banyak hadist yang didakwa
sebagai telah dimansukhkan tetapi setelah dikaji ia tidaklah dinasakhkan. Ada
hadist yang berbentuk `azimah dan ada pula yang berbentuk rukhsah. Kedua bentuk
ini mempunyai hukum masing-masing pada tempatnya. Terdapat sesetengah hadist
yang berkaitan dengan keadaan tertentu dan hadist yang lain pula berkaitan
dengan keadaan yang lain, maka perbedaan keadaan itu bukan menunjukkan nasakh. [9]
DAFTAR PUSTAKA
Zuhdi, Masyfuk, 1985, Pengantar Ilmu Hadits, Malang,
PT. Bina Ilmu.
Sahrani, Sohari, 2010, Ulumul Hadits, Bogor, Ghalia
Indonesia.
al-Hafizh, al-Imam, al-A’lamah, 2008, Mutiara Ilmu
Atsar, Jakarta, Akbar.
Rofiah, Khusniati, 2010, Studi Ilmu Hadits,
Ponorogo, STAIN PO Press.
Fathurrahman, 1987,Ikhtisar Musthalahul Hadits,
Bandung, PT. Al-Ma’arif Bandung.
Prof. Dr. H. M. Syuhudi Ismail, 1995, Hadis Nabi
Menurut Pembela Pengingkar Dan Pemalsunya, Jakarta, Gema Insani Press
0 Response to "Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadits"
Posting Komentar
jangan lupa tinggalkan komentar anda ya.. :)